Artikel ini menginvestigasi dugaan konflik kepentingan di balik kebijakan pembatasan operasional Starlink di Indonesia. Pembatasan seperti kewajiban kerja sama dengan penyedia lokal dan pembangunan gateway ditengarai bukan murni demi keamanan data, melainkan untuk melindungi dominasi operator telekomunikasi lokal yang terafiliasi dengan konglomerat dan elit politik. Kebijakan ini berpotensi menghambat inovasi, kompetisi sehat, dan pemerataan akses internet di daerah terpencil,
Kedatangan Starlink, layanan internet satelit revolusioner milik Elon Musk,
ke pasar telekomunikasi Indonesia pada pertengahan 2024, memicu optimisme
sekaligus pertanyaan besar. Meskipun digadang-gadang sebagai solusi akses
internet di wilayah terpencil, kehadiran Starlink justru diiringi serangkaian
kebijakan dan regulasi yang menimbulkan kecurigaan akan adanya konflik
kepentingan tersembunyi. Pertanyaan utamanya adalah: apakah pembatasan ini
murni demi kedaulatan digital, ataukah ada upaya terselubung untuk menekan
disrupsi demi melindungi kepentingan oligarki telekomunikasi nasional?
Sejak awal, operasional Starlink di Indonesia menghadapi berbagai kendala
birokrasi dan regulasi yang ketat. Starlink diwajibkan menjalin kerja sama
dengan penyedia jasa jaringan lokal, sebuah persyaratan yang tidak serta-merta
berlaku bagi penyedia layanan serupa lainnya. Selain itu, persoalan perizinan
spektrum frekuensi dan kewajiban pembangunan gerbang lokal (gateway) terus
menjadi penghambat. Meskipun pemerintah beralasan hal ini demi keamanan data
dan optimalisasi jaringan nasional, para pengamat industri dan sumber-sumber
anonim di lingkungan telekomunikasi mengindikasikan adanya motif lain.
"Ini bukan tentang keamanan, ini tentang proteksi," ungkap seorang mantan
pejabat Kementerian Komunikasi dan Informatika yang enggan disebut namanya.
"Operator lokal merasa terancam dengan model bisnis Starlink yang melewati
infrastruktur darat mereka."
Dugaan konflik kepentingan semakin menguat ketika menelusuri latar belakang
para pembuat kebijakan dan hubungan mereka dengan raksasa telekomunikasi di
Indonesia. Sebagian besar operator seluler dan penyedia jasa internet (ISP) di
Indonesia memiliki keterkaitan erat dengan konglomerat besar, bahkan beberapa
di antaranya berafiliasi dengan elit politik. Kebijakan yang memperlambat laju
Starlink secara efektif memberikan kesempatan bagi operator eksisting untuk
"menyesuaikan diri" atau, lebih jauh lagi, mempertahankan dominasi
pasar tanpa perlu berinovasi secara drastis. Kewajiban penggunaan gerbang
lokal, misalnya, dituding sebagai upaya untuk memaksa Starlink mengeluarkan
investasi besar di Indonesia, yang pada akhirnya menguntungkan perusahaan
infrastruktur lokal yang terafiliasi. Demikian pula dengan kebijakan penggunaan
wajar (fair use) atau pembatasan kuota yang diterapkan Starlink—sebuah hal yang
jarang ditemukan pada layanan satelit global lainnya—dicurigai sebagai kompromi
yang dipaksakan agar tidak terlalu mengganggu model bisnis operator seluler
berbasis kuota.
Akibatnya, konsumen di daerah terpencil yang seharusnya menjadi penerima
manfaat utama dari teknologi satelit canggih ini justru harus menghadapi harga
yang relatif mahal dan batasan layanan yang kurang optimal. Alih-alih
mempercepat pemerataan akses internet, kebijakan ini justru berpotensi
menciptakan disinsentif bagi inovasi dan kompetisi yang sehat. Indonesia,
dengan geografinya yang kepulauan, sangat membutuhkan solusi internet yang
fleksibel dan terjangkau. Membatasi Starlink berarti juga membatasi potensi
ekonomi digital di wilayah yang belum terjamah serat optik.
Investigasi mendalam terhadap regulasi Starlink di Indonesia mengungkap
lapisan-lapisan kepentingan yang lebih kompleks daripada sekadar jargon
kedaulatan digital. Transparansi dalam perumusan kebijakan, audit independen
terhadap proses perizinan, dan keberanian pemerintah untuk memprioritaskan
kepentingan publik di atas kepentingan segelintir korporasi menjadi kunci.
Tanpa itu, Indonesia akan terus terperangkap dalam bayang-bayang oligopoli
telekomunikasi, sementara potensi disrupsi yang sejatinya bisa membawa kemajuan
justru dimatikan di balik layar.