Mengungkap Misteri: Kenapa Komdigi Larang Starlink Dipakai Bergerak di Indonesia?

Artikel ini menginvestigasi alasan di balik larangan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Indonesia terhadap penggunaan layanan bergerak Starlink, hanya mengizinkan layanan tetap. Dugaan kuat mengarah pada upaya perlindungan operator telekomunikasi lokal dari disrupsi pasar, masalah perizinan frekuensi, dan kekhawatiran geopolitik/keamanan nasional terkait kontrol data. Meskipun Starlink dapat menjadi solusi konektivitas di daerah terpencil, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan tenta

Mengungkap Misteri: Kenapa Komdigi Larang Starlink Dipakai Bergerak di Indonesia?

Artikel ini menginvestigasi alasan di balik larangan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Indonesia terhadap penggunaan layanan bergerak Starlink, hanya mengizinkan layanan tetap. Dugaan kuat mengarah pada upaya perlindungan operator telekomunikasi lokal dari disrupsi pasar, masalah perizinan frekuensi, dan kekhawatiran geopolitik/keamanan nasional terkait kontrol data. Meskipun Starlink dapat menjadi solusi konektivitas di daerah terpencil, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan, inovasi, dan transparansi di pasar telekomunikasi Indonesia.


Kedatangan Starlink di Indonesia pada Mei 2024 lalu memicu antusiasme sekaligus tanda tanya besar. Meskipun layanan internet satelit besutan Elon Musk ini berpotensi menyediakan konektivitas di wilayah terpencil, muncul hambatan krusial yang tetap menjadi teka-teki: mengapa Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), atau yang sering disebut Komdigi, membatasi operasional Starlink hanya untuk layanan internet tetap (fixed broadband), bukan bergerak? Apa dasar di balik regulasi yang terlihat tidak menyeluruh ini?

Sebuah sumber anonim dari sektor telekomunikasi mengindikasikan bahwa keputusan tersebut merupakan hasil dari pertarungan kepentingan. Ia menyatakan, "Secara teknis, Starlink dirancang untuk mendukung mobilitas tinggi. Pembatasan ini jelas bukan karena keterbatasan teknologi, melainkan regulasi yang dirancang untuk melindungi operator eksisting." Pernyataan ini memperkuat spekulasi bahwa kekhawatiran akan gejolak pasar adalah pendorong utama. Penyedia layanan seluler domestik yang telah menanamkan investasi besar dalam infrastruktur darat kemungkinan melihat Starlink sebagai ancaman signifikan, khususnya di area-area yang selama ini menjadi target pasar eksklusif mereka.

Selain itu, masalah frekuensi dan perizinan juga turut menjadi sorotan. Meskipun Starlink beroperasi pada pita frekuensi non-geostasioner (NGSO), aturan di Indonesia mengenai alokasi spektrum masih sangat ketat. Seorang akademisi terkemuka di bidang kebijakan telekomunikasi menjelaskan, "Kekhawatiran akan interferensi memang ada, namun itu dapat diatasi melalui koordinasi teknis. Yang lebih mendasar adalah persoalan izin penggunaan spektrum untuk layanan bergerak, yang umumnya memerlukan proses tender atau konsesi khusus." Ia menambahkan bahwa pemerintah kemungkinan ingin Starlink mematuhi kerangka perizinan yang setara dengan operator lain, termasuk kewajiban membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi yang tidak sedikit.

Di samping argumen teknis dan regulasi, terdapat pula dugaan mengenai pertimbangan geopolitik dan keamanan negara. Sebagai entitas asing yang dimiliki oleh perusahaan AS, Starlink menimbulkan kekhawatiran terkait kendali data dan potensi pemanfaatan ganda (untuk tujuan sipil maupun militer), isu yang seringkali menjadi perhatian utama negara-negara berdaulat. Kominfo barangkali berupaya mempertahankan otoritas penuh atas infrastruktur komunikasi vital, terutama yang menyangkut transfer data lintas batas yurisdiksi fisik.

Pembatasan operasional Starlink untuk layanan bergerak juga memunculkan isu keadilan dan dorongan inovasi. Meskipun pemerintah berambisi meratakan akses internet, restriksi ini justru berpotensi merintangi optimalisasi teknologi satelit yang seyogianya mampu menyediakan solusi konektivitas cepat dan efektif di area yang sulit dijangkau oleh infrastruktur serat optik atau seluler konvensional. Akibatnya, komunitas di daerah terpencil yang memerlukan konektivitas adaptif—seperti untuk pekerjaan di lahan pertanian, navigasi perairan, atau dalam situasi darurat—kini harus menerima pilihan yang terbatas.

Latar belakang di balik larangan ini mungkin belum akan sepenuhnya terkuak dalam waktu dekat. Kendati demikian, jelas bahwa kebijakan Komdigi ini bukan semata-mata persoalan teknis atau kurangnya regulasi, melainkan refleksi dari kerumitan antara kepentingan bisnis, kedaulatan nasional, dan lanskap pasar telekomunikasi di Indonesia. Keterbukaan dan komunikasi yang jujur antara pihak regulator, penyedia layanan, dan publik menjadi esensial dalam menemukan solusi yang tepat demi tercapainya kemajuan digital yang merata.

#opini
SHARE :
Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin
Dapatkan full source code Asli
LINK TERKAIT